BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Canang merupakan sarana yang terpenting,
karena canang ini merupkan upakara yang akan dipakai dalam melakukan suatu
upacara. Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti
sirih, untuk digunakan kepada tamu yang amat dihormati. Pada zaman dahulu
tradisi makan sirih adalah tradisi yang sangat dihormati, maka dari pada itulah
sirih itupun menjadi unsur terpenting dalam dalam upacara agama dan kegiatan-kegiatan
agama lainnya.
Canang adalah inti dari semua banten yang
ada di bali baik tingat nista, madya, dan utama pasti menggunakan canang,
karena dalam canang itu terdapat unsur-unsur pokok yang membentuk canang itu
menjadi sakral yaitu: porosan, plawa (daun-daunan), Bunga, jejahitan dan
tuasan. Unsur-unsur ini merupakan pelambangan dari Sang Hyang Tri Murti.
Betapapun mewahnya banten kalau belum dilengkapi dengan canang yang terdiri
dari unsur-unsur di atas maka banten tersebut belum bernilai keagamaan.
Sehingga canang tidak bisa dilepaskan dari upacara –upacara yadnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas dapat
ditarik beberapa rumuasan masalah yatu:
1. Apa yang dimaksud canang dalam suatu
upacara yadnya?
2. Unsur pokok apa saja yang terdapat dalam
canang ?
3. Apa saja bentuk-bentuk canang ?
4. Apakah itu yadnya?
5. Apa makna canang dalam suatu upacara
yadnya?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Agar kita bisa mengetahui makna canang
dalam suatu upacara yadnya
2. Untuk bisa mengetahui unsur-unsur apa saja
yang terdapat dalam canang
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk canang
4. Untuk mengetahui makna canang dalam suatu
upacara yadnya,
5. Untuk mengetahui Pengertian Yadnya, serta
6. Untuk memenuhi tugas akhir semsester mata
kuliah acara hindu 2
1.4
Manfaat Tulisan
Manfaat pembuatan
makalah ini yaitu supaya kita megetahui pengertian canang. Mengetahui
unsur-unsur dan mengetahui bentuk-bentuk canag. Serta Untuk mengetahui makna canag dalam suatu
upacara yadnya.
1.5
Ruang Lingkup
Ruang
lingkup terkait dengan mata kuliah acara hindu. Canang merupakan sarana penting
dalam suatu Upacara yadnya. Pemaknaan tentang canang sangat penting diajarkan
dan di pelajari oleh masyarakat Bali. Karena
banyak pada masa sekarang ini orang yang tidak mengetahui makna yang terkandung
dalam canang dan orang-orang hanya menganggap canang itu sebagai penghias
suatau banten.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian canang dalam uapcara yadnya
Dalam persembahyangan canang inilah
merupakan sarana yang penting, karena canang ini merupakan upakara yang akan
dipakai sarana persembahan kepada Tuhan atau Bhatara Bhatari lelehur. Kata
canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti sirih, untuk
digunakan kepada tamu yang dihormati. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih
adalah tradisi yang sangat dihormati. Bahkan didalam kekawin Nitisastra disebutkan:
”Masepi tikang waktra tan amucang wang” artinya : sepi rasanya mulut bitu tiada
makan sirih. Jadi sirih pada zaman dahulu, ternyata benda yang benar-benar
bernilai tinggi. Sekarangpun di beberapa daerah termasuk di daerah bali, sirih
itu masih merupakan daun yang digemari oleh oleh masyarakat terutama oleh orang
tua.
Tradisi zaman dahulu, sirih itu adalah
lambang penghormatan. Setelah Agama Hindu berkembang di Bali, sirih itupun
menjadi unsur penting dalam upacara agama dan dalam kegiatan-kegiatan agama
lainnya. Mengapa salah satu bentuk banten di bali disebut dengan canang? Karena
inti daripada setiap banten canang adalah sirih itu sendiri. Betapapun indahnya
canang kalau belum dilengkapi denagn porosan yang bahan pokoknya adalah sirih,
belumlah canag itu disebut canang yang bernilai keagamaan.
Adapun perlengkapan daripada canang itu
anatara lain sebagai alasnya dipakai Ceper, atau daun pisang yang berbentuk
segi empat. Di atasnya berturut-turut di susun perlengkapan yang lain seperti:
pelawa (daun-daunan). Porosan yang terdiri dari salah satu atau dua potong
sirih, di alamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur di
atasnya diisi dengan tangkih atau kojong dari janur yang bentuknya bundar
disebut ulusari dapat pual di tambahkan dengan pandan harum yang diisi dengan
wangi-wangian.
Jadi canang adalah visualisasi daripada
ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang indah. Atau dengan kata lain Canang
itu adalah bahasa Agama Hindu dalam bentuk simbul yang dapat memberi berbagai
keterangan tentang arti dan makna hidup.
2.2
Unsur-unsur dalam Canang
Unsur-unsur pokok daripada canang –cangang
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Porosan
Porosan terdiri dari: pinang, kapur dan sirih. Dalam lontar Yadnya Prakerti
disebutkan: pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang Lambang
pemujaan kepada Dewa Brahma, Sirih lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu, kapur
lambang pemujaan Dewa Siwa. Karena tiga manifestasi inilah yang amat terkait
dengan kehidupan umat manusia, sehari-hari maka daripada itulah Tuhan dipuja
dalam tiga mainfestasi oleh umat hindu. Manusia tidak mungkin menjangkau
kemahakuasaan Tuhan yang tiada batas itu. Manusia dalam kehidupanya
sehari-hari, menuju kepada peningkatan hidup yang semakin layak dan semakin
baik, karena membutuhkan tiga hal pokok. Tiga hal pokok tersebut adalah:
Pertama:
tercipta dan tumbuhnya segala sesuatu, baik fisik, material maupun mental spiritual.
Untuk menunjang tujuan hidupnya mencapai hidup yang semakin layak.
Kedua: segala sesuatu yang telah tercapai itu, dapat
terpelihara dengan baik juga untuk menunjang cita-cita hidup tadi.
Ketiga: manusaipun menuju cita-citanya mengharapkan
dapat mengatasi dan kalau mungkin meniadakan sesuatu yang
menghambat/menghalangi hidupnya.
Ketiga dari proses kehidupan itulah yang
menyebabkan manusia memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam tiga fungsinya. Umat Hindu
memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma yaitu fungsi Tuhan sebagai pencipta dengan maksud
memohon perlindungan dan karunianya. Agar manusia dalam usaha menciptakan dan
menumbuhkan segala sesuatunya untuk menuju cita-citanya selalu sukses dan
mendapatkan keyakinan diri.
Menciptakan dan menumbuhkan sesuatu yang
patut diciptakan dan ditumbuhkan bukanlah pekerjaan yang mudah. Demikian pula
Umat Hindu memuja Tuahan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu yang berfungsi
sebagai dewa pelindung dan pemelihara. Agar manusia selalu mendapat tun-tunan
dan kekuatan iman untuk dapat memelihara segala sesuatu yang patut dipelihara
didunia ini.
Tuhan dipuja sebagai Dewa Siwa, juga
dimaksudkan agar manusia dalam usahanya melenyapkan atau menghilangkan segala
sesuatu yang menghambat cita-cita sucinya untuk menuju hidup yang bahagia
lahir, bathin selalu mendapat kekuatan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha
Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa.
Inilah arti dan makna porosan untuk memohon
tuntunan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai
Dewa Tri Murti, agar dapat menciptakan, memelihara, dan meniadakan yang patut
diciptakan, dipelihara dan ditiadakan untuk mendapatkan hidup yang layak dan
semakin baik.
b. Plawa ( daun-daunan)
Telah disebutkan dalam Lontar Yadnya
Prakerti bahwa Plawa adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci.
Jadi dalam memuja Tuhan sesuai dengan
sesuai dengan manifestasinya sebagai Tri Muri, harus dengan usaha
menumbuhkan pikiran yang suci hening. Karena pikiran yang tumbuh dari kesucian
dan keheningan itulah yang akan dapat menanggal pengaruh-pengaruh buruk dari
nafsu dunaiwi. Pikiran yang suci dan hening inilah yang dapat menarik atau
menurunkan karunia Tuhan.
Jenis daun atau plawa yang digunakan
sebagai sarana yadnya bukan diperoleh secara sembarangan, tetapi diperoleh
secara khusus yang telah ditanam pada suatu tempat yang suci pula, seperti:
tanaman bunga yang ada di halaman suatu pura, halaman pemerajan, serta
disekitar tempat-tempat tertentu yang dipandang suci atau yang tidak mencemarkan
jenis tumbuhan yang nantinya digunakan sebagai sarana upacara yadnya.
Persembahan daun atau plawa yang
diutamakan adalah nilai kesuciannya atau ketulusiklasan dalam
mempersembahkannya. Atau dengan kata lain kecil dalam persembahan namun besar
dalam makna. Persembahan yang demikian disebut dengan ”nistaning uttama atau
siddhaning don”
Adapun jenis-jenis plawa atau daun yang
digunakan dalam yadnya baik yadnya yang bersifat nitya karma maupun yang
bersifat naimitika karma adalah daun beringin, daun bilwa, daun prancak, daun
dadap, daun rumput (padang lepas, alang-alang), daun pandan arum, daun pudak, daun
pohon puring, daun enau, daun kelapa muda atau janur, daun nanas, daun andong,
daun salak, daun pisang. dll
c. Bunga lambang keikhlasan
Menuju
Tuhan Tak boleh ragu-ragu, harus didasarkan pada keikhlasan yang benar-benar
tulus datang dari lubuk hati yang paling dalam dan tersuci. Di samping itu
keikhlasan merupakan kebutuahan dari pertumbuhan jiwa yang sehat. Dalam hidup
ini kita harus mampu mengikhlaskan diri dari kehidupan duniawi. Apapun yang
mengikat diri kita didunia ini harus kita ikhlaskan, sebab cepat ataupun lambat
dunia ini pun kita akan tinggalkan. Karena tidak ada yang kekal dalam dunia
ini.
Betapapun indahnya masa kanak-kanak, harus
kita ikhlaskan menuju masa remaja, demikian pula betapapun indahnya masa remaja
harus kiat ikhlaskan menuju masa dewasa dan demikian seterusnya. Kitapun harus
iklas melepaskan ketampanan, kecantikan, kekayaan, jabatan, dan akhirnya dunia
yang indah inipun harus diiklaskan. Demikian pula dengan orang-orang yang kiat
cinta, cepat atau lambat harus diikhlaskan untuk berpisah kalau sudah waktunya.
Keikhlasan ini amat penting dalam menjaga keseimbangan jiwa, keikhlasan bukan
berarti orang harus menyerah dengan segala keadaan, keikhlasan disini berarti
menerima dengan lapang dada segala kenyataan sebagai hasil usaha kiat dalam
hidup ini. Manusia harus berusaha tetapi akhirnya Tuhanlah yang menentukan.
Keikhlasan ini harus selalu kita tanamkan dalam jiwa, karena semua ciptaan
Tuhan ada awal, ada puncak dan ada akhir.
Manusia yang tidak memiliki keikhlasan
hidup akan selalu resah, orang yang resah tidak pernah memiliki perasaan
tenang, apalagi suci atau hening. Pikiran yang keruh tidak akan mampu
berhubungan dengan kekuatan-kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan pikiran yang
keruh justru bisa dimasuki oleh kekuatan iblis, setan yang mendorong manusia
berbuat jahat.
Selain bunga sebagai lambang keikhlasan,
bunga juga berfungsi sebagai simbul Tuhan (Siwa) dan berfungsi sebagai
persembahan. Sebagai simbul, Bunga diletakakan tersebul pada puncak cakupan
kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga
tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumbangkan ditelinga. Sedangkan
bunga seabagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara
atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti
disebutkan sebagai:....”sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya Bunga
itu sebagai lambang ketulu ikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur
salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa
dasar kitab suci.
d.
Jejahitan, reringgitan dan tetusan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan
pikiran.
Dalam menuju cita-cita hidup, apalagi dalam zaman modern ini banyak sekali
Unsure-unsur
yang dapat menggoyahkan pikiran kita. Untuk tetap dapat menuju kebenaran dan
kebaikan (dharma) ketetapan dan kelanggengan ini harus diperthankan. Godaan
demi godaan akan silih berganti, datng menggoyahkan cita-cita suci, karena itu
tetaplah maju menuju jalan suci yaitu jalan menuju kebenaran Tuhan. Karena itu
pikiran yang langgeng amat dibutuhkan. Tanpa ketetapan yang patut
dicita-citakan, dipelihara dan ditiadakan hidup manusia akan porakporanda.
Berketetapan hati, berpegang pada
prinsip hidup yang benar amat dibutuhkan dalam mewujudkan kehidupan yang
bahagia. Apalgi dalm memohon dan menjaga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ujian hidup
pasti selalu ada. Hanya ketetapan hati atau kelanggenganlah sumber pokok agar
dapt akses dari berbagai ujian hidup.
e.Urassari
Letak urassari dalam canang adalah
di atas plawa, porosan, tebu keeping, pisang dan lain-lainnya,yang dihiasi
dengan ceper. Di atas Urassari ini diisi
bunga-bungaan. Adapun bentuk daripada urassari tersebut kalau kita amati,berbentuk
garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana daripada
swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.
Urassari yang tersusun dengan
jejahitan, reringgitan dan tetusan itu akan kelihatan berbentuk lingkaran
“Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dengan delapan penjuru anginnya.
Dalam ajaran agama hindu, alam semesta ini, diciptakan melalui tiga proses
yaitu:
e.1. Sresti artinya: proses penciptaan dari unsure
purusa pradana terus sampai terciptanya alam semesta beserta isinya termasuk
manusia.
e.2. Sawstika artinya: proses dimana alam mencapai
puncak keseimbangannya yang bersifat dinamis.Hal inilah yang dilambngkan dalam
sampian Urassari dasar pokonya berbentuk penyilang atau tampak dara, dimana
ujung-ujungnya menunjukan arah “catur lokapal” disertai dengan hiasan yang
melingkar menjadi Swastika, Kemudian menjadi bentuk Padma Astadala.
Bentuk
tampak dara yang menunjukan arah catur loka pala, berkembang menjadi bentuk Swastika
dan dengan hiasan yang menyilang ke sudut-kesudutnya menjadikan bentuk bentuk
Padma Astadala, adalah lambang perputaran alam yang seimbang. Perputaran alam
yang seimbang. Perputaran alam yang seimbang merupakan sumber hidup yang menuju
kebahagiaan.
Jadi
sampian ulusari adalah lambang Padma Asta dala, sebagai lambangng permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga alam lingkunagn hidup selaras dan seimbang.
e.3 Pralaya artinya : alam semesta ini lebur kembali pada asalnya yaitun
Tuhan Pencipta, Sreti, Swastika dan Pralaya adalah proses alam yang melalui
proses penciptaan, masa keseimbangan atau swastika dan masa peleburan kembali
atau pralaya kepada sumbernya.
2.3
Bentuk-bentuk Canang
v Canang Genten
Sebagai alas dapat digunakan taledan, ceper
ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun
perlengkapan yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri
dari satu/dua potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan
sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk tangkih
atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".
Bila keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan
dengan pandan-arum, wangi-wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten
ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara
lain: jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati,
daun-daunan melambangkan ketenangan hati. Sirih, melambangkan dewa wisnu, kapur
melambangkan dewa siva, pinang melambangkan dewa brahma, suci bersih, dan
wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan
kesucian.
Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu
digunakan untuk melengkapi sesajen-sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat
serta porosannya berbeda-beda.
v
Canang Buratwangi
Bentuk
banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan
dua jenis "lenga wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing
dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi dibuat dari beras dan kunir yang
dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang
berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak wangi) yang berwarna putih dibuat dari
menyan, 'malem" ( sejenis lemak pada sarang lebah), dicampur dengan minyak
kelapa. Lenga wangi (minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari
minyak kelapa dicampur dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong
lalu dihaluskan.
Ada kalanya campuran
tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng sampai
gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu minyak
kelapa dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan perlengkapan lainnya.
Secara keseluruhan "lenga-wangi" dan "burat-wangi" melambangkan
Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang Siva, Majegau melambangkan Hyang
Sadasiva sedang cendana melambangkan Hyang Paramasiva.
Banten ini
dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari Purnama, Tilem, hari
raya Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang lebih besar.
v
Canang Sari
Bentuk
banten ini agak berbeda dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu dibagi
menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segiempat
seperti ceper atau taledan. Sering pula diberi hiasan
"Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa,
porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas atau
yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan
lengawangi seperti pada canang buratwangi. Di atasnya barulah diisi
bermacam-macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah "uras
sari/sampian uras".
Canang sari dilengkapi dengan sesari
berupa uang kertas, uang logam maupun uang kepeng. Perlengkapan seperti
tebu, kekiping, dan pisang emas disebut "raka-raka". Raka-raka
melambangkan Hyang Widyadhara-Widyadhari. Pisang emas melambangkan Mahadewa,
secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan
Dewa Brahma.
Canang sari
dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada
hari-hari tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau persembahyangan di
tempat suci.
v
Canang Pesucian
Canang
ini disebut juga canang pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau ceper.
Pada bagian bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau yang dialasi dengan
kojong. disusuni beberapa lembar daun sirih, sedangkan aled atau ceper yang
lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi celemik atau kapu-kapu
kemudian dilengkapi bunga yang harum.
v
Tadah Pawitrah / Tadah Sukla
Bentuknya
seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah, kacang komak,
kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng dan masing-masing
dialasi tangkih dan kojong. Banten ini dipergunakan untuk melengkapi beberapa
jenis sesajen seperti: daksina Pelinggih dan lain-lainnya.
v
Canang Meraka
Sebagai
alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, pisang,
buah-buahan, beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut
"Srikakili" dibuat dari janur berbentuk kojong diisi plawa, porosan
serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang tubungan, Canang
Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos dan lain-lain.
Pada
umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk porosan dan cara pengaturannya
yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan pinang mempunyai dua fungsi
sebagai simbul atau lambang yaitu:
- Sirih
melambangkan Dewa Wisnu
- Pinang melambangkan Dewa Brahma
- Kapur
melambangkan Dewa Siwa
Untuk
persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal ini penggunaannya
dilengkapi dengan tembakau dan gambir.
2.4 Pengertian Yadnya
Kalau ditinjau secara dari ethimologinya,
kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "yaj"
yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata
itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata
ini timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh
penghormatan), yajus (sakral, retus, agama) dan yajna (pemujaan, doa persembahan)
yang kesemuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.
Yadnya (yajna), dapat juga diartikan korban suci, yaitu
korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi
umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi yang telah menciptalan alam
semesta dengan segala isinya dengan yadnya-Nya. Yadnya adalah cara yang
dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta
semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan
Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas
dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan
tulus iklas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha
Esa).
Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai
suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus
iklas dengan tanpa pamerih. Kita beryadnya, karena kita sadar bahwa Hyang Widhi
menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan yadnyanya
pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban suci-Nya, cinta dan
kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia dan
mahluk-mahluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan
baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta berserta segala
isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan mahluk dengan
menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi mahluk hidup tersebut sehingga
teratur dan harmonis.
Jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan
baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada Hyang Widhi
beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya
yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup
makhluk di dunia.
Agnim ile purohitam
yajnasya devam rtvijam,
hotaram ratna dhatanam (R.V.I.1.1)
Artinya:
Hamba menuja Agni,
pendeta agung upacara yadnya, yang suci, penganugrah, yang menyampaikan
persembahan (kepada para Dewa), dan pemilik kekayaan yang melimpah.
Ishtân bhogaân hi vo devâ
dâsyante yahjna bhâvitâh
tair dattân apradâyai byo
yo bhunkte stena eva sah. (Bh. G.III.12)
Artinya:
Sebab dengan yadnyamu (pujaanmu) Hyang
Widhi (dewata) akan memberkahi kebahagiaan bagimy, dia yang tidak membalas
rakhmat ini kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.
Yâjna sishtâsinah santo
muchyante sarva kilbishaih
bhunjate te ty agham pâpâ
ye paehamty atma karanat. (Bh. G.III.13)
Artinya:
Yang baik makan
setelah upacara bakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan
makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini, sesungguhnya makan dosa.
Sesorang hendaknya
menyadari , bahwa sesuatu yang dimakan, dipakai maupun yang digunakan dalam
hidup ini pada hakikatnya adalah karunia Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Berdosalah ia yang hanya suka menerima namun tidak mau memberi. Setiap orang
ingin terlepas dari segala dosa, maka itu setiap orang patut beryadnya. Dengan
yadnya, Hyang Widhi akan memberkahi kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dia yang
tidak beryadnya, yang tidak membalas rahmat yang ia terima sebagaimana yadnya
dan anugrah yang diberikan oleh Hyang Widhi, sesungguhnya ia itu adalah
pencuri.
Jadi dengan
memperhatikan beberapa sloka di atas, maka jelaslah bahwa yadnya adalah suatu
amal ibadah agama yang hukumnya adalah wajib atau setidak-tidaknya dianjurkan
untuk dilaksanakan oleh umat manusia yang iman terhadap Hyang Widhi. Seseorang
hendaknya mengabdikan diri kepada-Nya dengan penuh kesujudan dan rasa bakti
dengan mengadakan pemujaan dan persembahan yang dilakukan secara tulus iklas.
Patram pushpam phalam toyam
yo me bhaktya prayachchati
tad aham bhaaktypahritam
asnami prayatatmanah. (Bh. G.IX.26)
Artinya:
Siapa yang sujud kepada-Ku dengan
persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk
air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Biasanya pemujaan dan persembahan itu
dapat dilakukan dalam bentuk upacara yadnya, yaitu persembahan berupa banten
atau sajen-sajen, yang terdiri dari bahan-bahan seperti bunga, daun-daun, air
dan buah-buahan. Semuanya ini adalah persembahan yang bersifat simbolik. Yang
terutama adalah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam keseimbangan
tertuju kepada Hyang Widhi.
Ye yatha mam prapadyante
tams tathai va bhajamy aham
mama vartma nurvartante
manushyah partha sarvatah (Bh. G. IV.11)
Artinya:
Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku
semuanya Ku terima dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh Parta.
Hyang Widhi akan
menemui setiap orang yang mengharapkan karunia daripada-Nya. Hyang Widhi tidak
menghapus harapan setiap orang yang melaksanakan yadnya menurut cara dan
kepercayaannya masing-masing. Disini tidak harus satu cara atau jalan tertentu
untuk mencapai hubungan dengan Hyang Widhi, sebab semuanya menuju kepada-Nya.
Didalam pelaksanaan upacara yadnya,
hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, kala, Patra. Desa adalah
menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia ditempat yang bersangkutan,
di tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan, karena biasanya
antara tempat yang satu dengan tempat yang yang lainnya mempunyai cara-cara
yang berbeda. Kala adalah penyesuaian terhadap waktu untuk beryadnya, atau
kesempatan di dalam pembuatan dan pelasksanaan yadnya tersebut. Sedangkan Patra
adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan di dalam melakukan yadnya. Orang
tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau yang kecil. Yang penting
disini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak mengurangi tujuan yadnya
itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi, karena di dalam bakti inilah
letak nilai-nilai dari pada yadnya tersebut. Adapun bentuk dari Yandna yang dikenal dengan nama Panca Maha Yajna,
disebut dalam Manu Smrti III.68-69 :
- Dewa Yajna
Dewa asal kata bahasa Sanskrit
“Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang
merupakan manifestasi dari Tuhan yang umat Hindu di Bali menyebutnya Ida
Sanghyang Widhi. Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Dewa Yadnya adalah
pemujaan serta persembahan kehadapan Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut
dewa-dewi.
Adanya pemujaan atau persembahan kehadapan
dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur
gerak kehidupan di dunia ini. Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti
Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh Umat
Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210
hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis
uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu
Pengathuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat
memegang wina (sejenis tasbih), genitri (semacam alat musik) serta lontar
bertuliskan sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil.
- Brahma Yajna atau Rsi Yajna
Rsi artinya orang suci sebagai
rohaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali. Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Resi Yadnya adalah
upacara suci sebagai penghormatan serta pemujaan kepada para Resi yang telah
memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan
akhirat.
- Pitra Yajna
Pitra artinya arwah manusia
yang sudah meninggal. Yadnya artinya upacara suci. Upacara Pitra Yadnya adalah
upacara suci yang dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina (
kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran
Agama Hindu.
Yang dimaksud dengan meralina
(kremasi menurut Ajaran Agama Hindu ) adalah merubah suatu wujud demikian rupa
sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimak dengan asal
semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api,
tanah, angin dan angkasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha
(air suci) sedangkan untuk meralina digunakan api pemeralina ( api alat
kremasi).
- bhuta yajna
Bhuta artinya unsur yang
diadakan, sedangkan Yadnya artinya upacara suci. Kata “Bhuta” sering
dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi” Bhuta Kala
artinya unsur alam semesta dan kekuatannya.
Bhuta Yadnya adalah pemujaan
serta persembahan yang ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk
menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya
gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga
(IX) menjelang Hari Raya Nyepi (tahun baru kalender Bali).
Upacara Tawur ke Sanga (IX)
adalah upacara suci yang merupakan persembahan kepada Bhuta-Kala agar terjalin
hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam
kehidupan.
- Nri yajna atau manusa yajna.
Manusa artinya manusia,
sedangkan yadnya artinya upacara suci. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara
suci dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual
terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir
kehidupan.
Maksud dari Upacara manusa
yadnya ialah untuk membersihkan lahir-batin seseorang demi kesempurnaan dan
keselamatan hidupnya. Adapun jenis upacara dari manusa yadnya adalah:
Magedong-gedongan. Rare embas ( bayi lahir), Kepus Pungsed (Tali pusar lepas),
Roras raina (Bayi umur 12 hari), Abulan Pitung Raina (Bayi umur 42 hari), Telu
Bulan (Bayi umur 3 bulan), Otonan (Bayi umur 6 bulan), magetep bok, (bayi
potong rambut), Ngendagin atau ngempugin (bayi tumbuh gigi), Upacara ganti
gigi, Upacara raja sewala, (akil balig), Upacara mapandes (potong gigi), dan
Upacara Pawiwahan.
2.4
Makna Canang dalam suatu Upacara
Makna canang dalam suatu
upacara adalah sebagai berikut:
a. Canang mengandung arti dan makna
perjuangan hidup manusia dan selalu memohon bantuan dan perlindungan Tuhan Yang
Maha Esa untuk dapt menciptakan, memelihara dan meniadakan yang patut
diciptakan, dipelihara dan ditiadakan demi suksesnya cita-cita hidup manusia
yaitu kebahagiaan.
b. Perjuangan hidup itu selalu melalui
usaha untuk menumbuhkan pikiran yang jernih dan suci didasarkan pada
ketulusikhlasan, beryadnya, berbakti dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kepada sesama manusia dan kepada alam lingkungan. Dalam begavadgita,
III, 10 disebutkan Prajapati yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Praja atau manusia dan mahluk
hidup lainnya, Kamadhuk artinya “yang memberikan segala keinginan”, yaitu alam
atau bumi tempat kita hidup. Usaha untuk menumbuhkan pikiran yang suci dan
ening dan ketulus ikhlasan untuk berbakti dan yang mengabdi harus disertai
dengan ketetapan hati inilah yang dapat menyingkirkan semua godaan-godaan
hidup.
c.
Usaha-usaha manusia untuk menciptakan, memelihara, dan meniadakan sesuatu yang
patut diciptakan, dipelihara dan ditiadakan, melalui penumbuhan pikiran yang
jernih dan suci berdasarkan hati yang tulus ikhlas dengan ketetapan hati yang
lannggeng dunia ini dibangun menjadi seimbang, selaras, dan serasi. Inilah
sumber kehidupan yang bahagia demikian tingginya filsafat hidup yang dikandung
oleh canang.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dalam persembahyangan canang inilah
merupakan sarana yang penting, karena canang ini merupakan upakara yang akan
dipakai sarana persembahan kepada Tuhan atau Bhatara Bhatari lelehur. Sehingga
Canang adalah visualisasi daripada ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang
indah. Atau dengan kata lain Canang itu adalah bahasa Agama Hindu dalam bentuk
simbul yang dapat memberi berbagai keterangan tentang arti dan makna
hidup.adapun unsur-unusur dari canag itu adalah
Porosan, Plawa, Bunga, Jejahitan, reringgitan, tetusan, dan Urassari. Canag
dari segi penggunaan dan bentuk serta perlengkapanya ada beberapa macam
seperti: Canang Genten, Canang Buratwangi, Canang Sari, Canang Pasucian, Tadah
Pawitrah/ tadah sukla, dan Canag meraka.
Yadnya
menurut ajaran agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus
dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan
menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka
hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya
sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Jadi
yadnya itu adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia
dengan Hyang Widhi beserta semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa
dan persatuan Atman dengan Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian,
penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar
dari hati sanubari yang suci dan tulus iklas sebagai pengabdian yang sejati
kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Adapun bagian dari yadnya ini adalah Dewa Yajna, Brahma Yajna atau Rsi Yajna, Pitra
Yajna, bhuta yajna,Nri yajna atau manusa
yajna dan kelimanya ini dikenal
dengan nama Panca Maha Yajna, disebut dalam Manu Smrti III.68-69 :
3.2 SARAN
Dengan
tersusunnya karya tulis ini diharapkan kepada masyarakat dan khususnya
mahasiswa untuk mempelajari dan memahami makna canang dalam suatu upacara
yadnya. Karean canang inilah yang merupakan inti dari semua Banten. Sehingga di
masyarakat canang itu tidak sekedar hanya dibuat tetapi tidak tau maknanya.
DAFTAR PUSTAKA
- Tjokorda Rai Sudharta, Prof. DR.dkk, Arti dan Fungsi sarana Upakara, Parisada Hindu Pusat.
- Subagiasta I Ketut Drs. Dkk, Modul Acara Agama Hindu, departemen Agama dan Universitas Terbuka, jakarta, 1993.
- Jelantik Oka, Ida Pendanda Gede Nyoman, Sanatanan Hindu darma, Widya dharma, Denpasar, 2009
|
|||
![]() |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar