selamat datang di blog saya ini

Welcome Comments Pictures

Jumat, 21 Desember 2012

sarana upacara


BAB I
PENDAHULUAN




1.1   Latar Belakang

Canang merupakan sarana yang terpenting, karena canang ini merupkan upakara yang akan dipakai dalam melakukan suatu upacara. Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti sirih, untuk digunakan kepada tamu yang amat dihormati. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih adalah tradisi yang sangat dihormati, maka dari pada itulah sirih itupun menjadi unsur terpenting dalam dalam upacara agama dan kegiatan-kegiatan agama lainnya.

Canang adalah inti dari semua banten yang ada di bali baik tingat nista, madya, dan utama pasti menggunakan canang, karena dalam canang itu terdapat unsur-unsur pokok yang membentuk canang itu menjadi sakral yaitu: porosan, plawa (daun-daunan), Bunga, jejahitan dan tuasan. Unsur-unsur ini merupakan pelambangan dari Sang Hyang Tri Murti. Betapapun mewahnya banten kalau belum dilengkapi dengan canang yang terdiri dari unsur-unsur di atas maka banten tersebut belum bernilai keagamaan. Sehingga canang tidak bisa dilepaskan dari upacara –upacara yadnya.

1.2   Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas dapat ditarik beberapa rumuasan masalah yatu:
1.      Apa yang dimaksud canang dalam suatu upacara yadnya?
2.      Unsur pokok apa saja yang terdapat dalam canang ?
3.      Apa saja bentuk-bentuk canang ?
4.      Apakah itu yadnya?
5.      Apa makna canang dalam suatu upacara yadnya?

1.3   Tujuan Penulisan
1.      Agar kita bisa mengetahui makna canang dalam suatu upacara yadnya
2.      Untuk bisa mengetahui unsur-unsur apa saja yang terdapat dalam canang
3.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk canang
4.      Untuk mengetahui makna canang dalam suatu upacara yadnya,
5.      Untuk mengetahui Pengertian Yadnya,  serta
6.      Untuk memenuhi tugas akhir semsester mata kuliah acara hindu 2

1.4 Manfaat Tulisan
   Manfaat pembuatan makalah ini yaitu supaya kita megetahui pengertian canang. Mengetahui unsur-unsur dan mengetahui bentuk-bentuk canag. Serta  Untuk mengetahui makna canag dalam suatu upacara yadnya.

1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup terkait dengan mata kuliah acara hindu. Canang merupakan sarana penting dalam suatu Upacara yadnya. Pemaknaan tentang canang sangat penting diajarkan dan di pelajari oleh masyarakat Bali. Karena banyak pada masa sekarang ini orang yang tidak mengetahui makna yang terkandung dalam canang dan orang-orang hanya menganggap canang itu sebagai penghias suatau banten.















BAB II
PEMBAHASAN


2.1  Pengertian canang dalam uapcara yadnya
Dalam persembahyangan canang inilah merupakan sarana yang penting, karena canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Tuhan atau Bhatara Bhatari lelehur. Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti sirih, untuk digunakan kepada tamu yang dihormati. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih adalah tradisi yang sangat dihormati. Bahkan didalam kekawin Nitisastra disebutkan: ”Masepi tikang waktra tan amucang wang” artinya : sepi rasanya mulut bitu tiada makan sirih. Jadi sirih pada zaman dahulu, ternyata benda yang benar-benar bernilai tinggi. Sekarangpun di beberapa daerah termasuk di daerah bali, sirih itu masih merupakan daun yang digemari oleh oleh masyarakat terutama oleh orang tua.
Tradisi zaman dahulu, sirih itu adalah lambang penghormatan. Setelah Agama Hindu berkembang di Bali, sirih itupun menjadi unsur penting dalam upacara agama dan dalam kegiatan-kegiatan agama lainnya. Mengapa salah satu bentuk banten di bali disebut dengan canang? Karena inti daripada setiap banten canang adalah sirih itu sendiri. Betapapun indahnya canang kalau belum dilengkapi denagn porosan yang bahan pokoknya adalah sirih, belumlah canag itu disebut canang yang bernilai keagamaan.
Adapun perlengkapan daripada canang itu anatara lain sebagai alasnya dipakai Ceper, atau daun pisang yang berbentuk segi empat. Di atasnya berturut-turut di susun perlengkapan yang lain seperti: pelawa (daun-daunan). Porosan yang terdiri dari salah satu atau dua potong sirih, di alamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur di atasnya diisi dengan tangkih atau kojong dari janur yang bentuknya bundar disebut ulusari dapat pual di tambahkan dengan pandan harum yang diisi dengan wangi-wangian.
Jadi canang adalah visualisasi daripada ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang indah. Atau dengan kata lain Canang itu adalah bahasa Agama Hindu dalam bentuk simbul yang dapat memberi berbagai keterangan tentang arti dan makna hidup.

2.2  Unsur-unsur dalam Canang
Unsur-unsur pokok daripada canang –cangang tersebut adalah sebagai berikut:

a.       Porosan
Porosan terdiri dari: pinang, kapur dan sirih. Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan: pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang Lambang pemujaan kepada Dewa Brahma, Sirih lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu, kapur lambang pemujaan Dewa Siwa. Karena tiga manifestasi inilah yang amat terkait dengan kehidupan umat manusia, sehari-hari maka daripada itulah Tuhan dipuja dalam tiga mainfestasi oleh umat hindu. Manusia tidak mungkin menjangkau kemahakuasaan Tuhan yang tiada batas itu. Manusia dalam kehidupanya sehari-hari, menuju kepada peningkatan hidup yang semakin layak dan semakin baik, karena membutuhkan tiga hal pokok. Tiga hal pokok tersebut adalah:
Pertama: tercipta dan tumbuhnya segala sesuatu, baik fisik, material maupun mental spiritual. Untuk menunjang tujuan hidupnya mencapai hidup yang semakin layak.
Kedua:   segala sesuatu yang telah tercapai itu, dapat terpelihara dengan baik juga untuk menunjang cita-cita hidup tadi.
Ketiga:  manusaipun menuju cita-citanya mengharapkan dapat mengatasi dan kalau mungkin meniadakan sesuatu yang menghambat/menghalangi hidupnya.
   Ketiga dari proses kehidupan itulah yang menyebabkan manusia memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam tiga fungsinya. Umat Hindu memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma yaitu  fungsi Tuhan sebagai pencipta dengan maksud memohon perlindungan dan karunianya. Agar manusia dalam usaha menciptakan dan menumbuhkan segala sesuatunya untuk menuju cita-citanya selalu sukses dan mendapatkan keyakinan diri.
   Menciptakan dan menumbuhkan sesuatu yang patut diciptakan dan ditumbuhkan bukanlah pekerjaan yang mudah. Demikian pula Umat Hindu memuja Tuahan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu yang berfungsi sebagai dewa pelindung dan pemelihara. Agar manusia selalu mendapat tun-tunan dan kekuatan iman untuk dapat memelihara segala sesuatu yang patut dipelihara didunia ini.
   Tuhan dipuja sebagai Dewa Siwa, juga dimaksudkan agar manusia dalam usahanya melenyapkan atau menghilangkan segala sesuatu yang menghambat cita-cita sucinya untuk menuju hidup yang bahagia lahir, bathin selalu mendapat kekuatan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa.
   Inilah arti dan makna porosan untuk memohon tuntunan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Tri Murti, agar dapat menciptakan, memelihara, dan meniadakan yang patut diciptakan, dipelihara dan ditiadakan untuk mendapatkan hidup yang layak dan semakin baik.

b.      Plawa ( daun-daunan)
Telah disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa Plawa adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci. Jadi dalam memuja Tuhan sesuai dengan  sesuai dengan manifestasinya sebagai Tri Muri, harus dengan usaha menumbuhkan pikiran yang suci hening. Karena pikiran yang tumbuh dari kesucian dan keheningan itulah yang akan dapat menanggal pengaruh-pengaruh buruk dari nafsu dunaiwi. Pikiran yang suci dan hening inilah yang dapat menarik atau menurunkan karunia Tuhan.
Jenis daun atau plawa yang digunakan sebagai sarana yadnya bukan diperoleh secara sembarangan, tetapi diperoleh secara khusus yang telah ditanam pada suatu tempat yang suci pula, seperti: tanaman bunga yang ada di halaman suatu pura, halaman pemerajan, serta disekitar tempat-tempat tertentu yang dipandang suci atau yang tidak mencemarkan jenis tumbuhan yang nantinya digunakan sebagai sarana upacara yadnya.
Persembahan daun atau plawa yang diutamakan adalah nilai kesuciannya atau ketulusiklasan dalam mempersembahkannya. Atau dengan kata lain kecil dalam persembahan namun besar dalam makna. Persembahan yang demikian disebut dengan ”nistaning uttama atau siddhaning don”
Adapun jenis-jenis plawa atau daun yang digunakan dalam yadnya baik yadnya yang bersifat nitya karma maupun yang bersifat naimitika karma adalah daun beringin, daun bilwa, daun prancak, daun dadap, daun rumput (padang lepas, alang-alang), daun pandan arum, daun pudak, daun pohon puring, daun enau, daun kelapa muda atau janur, daun nanas, daun andong, daun salak, daun pisang. dll
c.       Bunga lambang keikhlasan
 Menuju Tuhan Tak boleh ragu-ragu, harus didasarkan pada keikhlasan yang benar-benar tulus datang dari lubuk hati yang paling dalam dan tersuci. Di samping itu keikhlasan merupakan kebutuahan dari pertumbuhan jiwa yang sehat. Dalam hidup ini kita harus mampu mengikhlaskan diri dari kehidupan duniawi. Apapun yang mengikat diri kita didunia ini harus kita ikhlaskan, sebab cepat ataupun lambat dunia ini pun kita akan tinggalkan. Karena tidak ada yang kekal dalam dunia ini.
Betapapun indahnya masa kanak-kanak, harus kita ikhlaskan menuju masa remaja, demikian pula betapapun indahnya masa remaja harus kiat ikhlaskan menuju masa dewasa dan demikian seterusnya. Kitapun harus iklas melepaskan ketampanan, kecantikan, kekayaan, jabatan, dan akhirnya dunia yang indah inipun harus diiklaskan. Demikian pula dengan orang-orang yang kiat cinta, cepat atau lambat harus diikhlaskan untuk berpisah kalau sudah waktunya. Keikhlasan ini amat penting dalam menjaga keseimbangan jiwa, keikhlasan bukan berarti orang harus menyerah dengan segala keadaan, keikhlasan disini berarti menerima dengan lapang dada segala kenyataan sebagai hasil usaha kiat dalam hidup ini. Manusia harus berusaha tetapi akhirnya Tuhanlah yang menentukan. Keikhlasan ini harus selalu kita tanamkan dalam jiwa, karena semua ciptaan Tuhan ada awal, ada puncak dan ada akhir.
Manusia yang tidak memiliki keikhlasan hidup akan selalu resah, orang yang resah tidak pernah memiliki perasaan tenang, apalagi suci atau hening. Pikiran yang keruh tidak akan mampu berhubungan dengan kekuatan-kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan pikiran yang keruh justru bisa dimasuki oleh kekuatan iblis, setan yang mendorong manusia berbuat jahat.
Selain bunga sebagai lambang keikhlasan, bunga juga berfungsi sebagai simbul Tuhan (Siwa) dan berfungsi sebagai persembahan. Sebagai simbul, Bunga diletakakan tersebul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumbangkan ditelinga. Sedangkan bunga seabagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai:....”sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya Bunga itu sebagai lambang ketulu ikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar kitab suci.

d. Jejahitan, reringgitan dan tetusan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran.
            Dalam menuju cita-cita hidup, apalagi dalam zaman modern ini banyak sekali
Unsure-unsur yang dapat menggoyahkan pikiran kita. Untuk tetap dapat menuju kebenaran dan kebaikan (dharma) ketetapan dan kelanggengan ini harus diperthankan. Godaan demi godaan akan silih berganti, datng menggoyahkan cita-cita suci, karena itu tetaplah maju menuju jalan suci yaitu jalan menuju kebenaran Tuhan. Karena itu pikiran yang langgeng amat dibutuhkan. Tanpa ketetapan yang patut dicita-citakan, dipelihara dan ditiadakan hidup manusia akan porakporanda.
            Berketetapan hati, berpegang pada prinsip hidup yang benar amat dibutuhkan dalam mewujudkan kehidupan yang bahagia. Apalgi dalm memohon dan menjaga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ujian hidup pasti selalu ada. Hanya ketetapan hati atau kelanggenganlah sumber pokok agar dapt akses dari berbagai ujian hidup.

e.Urassari
            Letak urassari dalam canang adalah di atas plawa, porosan, tebu keeping, pisang dan lain-lainnya,yang dihiasi dengan ceper. Di atas Urassari ini diisi  bunga-bungaan. Adapun bentuk daripada urassari tersebut kalau kita amati,berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana daripada swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.
            Urassari yang tersusun dengan jejahitan, reringgitan dan tetusan itu akan kelihatan berbentuk lingkaran “Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan delapan penjuru anginnya.
            Dalam ajaran agama hindu, alam semesta ini, diciptakan melalui tiga proses yaitu:
e.1. Sresti artinya: proses penciptaan dari unsure purusa pradana terus sampai terciptanya alam semesta beserta isinya termasuk manusia.
e.2. Sawstika artinya: proses dimana alam mencapai puncak keseimbangannya yang bersifat dinamis.Hal inilah yang dilambngkan dalam sampian Urassari dasar pokonya berbentuk penyilang atau tampak dara, dimana ujung-ujungnya menunjukan arah “catur lokapal” disertai dengan hiasan yang melingkar menjadi Swastika, Kemudian menjadi bentuk Padma Astadala.
            Bentuk tampak dara yang menunjukan arah catur loka pala, berkembang menjadi bentuk Swastika dan dengan hiasan yang menyilang ke sudut-kesudutnya menjadikan bentuk bentuk Padma Astadala, adalah lambang perputaran alam yang seimbang. Perputaran alam yang seimbang. Perputaran alam yang seimbang merupakan sumber hidup yang menuju kebahagiaan.
            Jadi sampian ulusari adalah lambang Padma Asta dala, sebagai lambangng permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga alam lingkunagn hidup selaras dan seimbang.
e.3 Pralaya artinya : alam semesta ini lebur kembali pada asalnya yaitun Tuhan Pencipta, Sreti, Swastika dan Pralaya adalah proses alam yang melalui proses penciptaan, masa keseimbangan atau swastika dan masa peleburan kembali atau pralaya kepada sumbernya.


2.3  Bentuk­­­­­­­­­­­­­­­­­­-bentuk Canang

v  Canang Genten
Sebagai alas dapat digunakan taledan, ceper ataupun daun pisang yang berbentuk segi empat. Diatasnya berturut-turut disusun perlengkapan yang lain seperti: bunga dan daun-daunan, porosan yang terdiri dari satu/dua potong sirih diisi sedikit kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur, sedangkan bunganya dialasi dengan janur yang berbentuk tangkih atau kojong. Kojong dengan bentuk bundar disebut "uras-sari".
Bila keadaan memungkinkan dapat pula ditambahkan dengan pandan-arum, wangi-wangian dan sesari (uang). Waulupun perlengkapan banten ini sangat sederhana, tetapi hampir semuanya mempunyai arti simbolis antara lain: jejaitan/tetuwasan reringgitan, melambangkan kesungguhan hati, daun-daunan melambangkan ketenangan hati. Sirih, melambangkan dewa wisnu, kapur melambangkan dewa siva, pinang melambangkan dewa brahma, suci bersih, dan wangi-wangian sebagai alat untuk menenangkan pikiran kearah kesegaran dan kesucian.
Canang ini, baik besar maupun kecil bahkan selalu digunakan untuk melengkapi sesajen-sesajen yang lain, hanya saja bentuk alat serta porosannya berbeda-beda.

v  Canang Buratwangi
Bentuk banten ini seperti canang genten dengan ditambahkan "burat wangi" dan dua jenis "lenga wangi". Ketiga perlengkapan tersebut masing-masing dialasi kojong atau tangkih. Burat wangi dibuat dari beras dan kunir yang dihaluskan dicampur dengan air cendana atau mejegau. Ada kalanya dicampur dengan akar-akaran yang berbau wangi. Lenga Wangi ( minyak wangi) yang berwarna putih dibuat dari menyan, 'malem" ( sejenis lemak pada sarang lebah), dicampur dengan minyak kelapa. Lenga wangi (minyak wangi) yang berwarna kehitam-hitaman dibuat dari minyak kelapa dicampur dengan kacang putih, komang yang digoreng sampai gosong lalu dihaluskan.
Ada kalanya campuran tersebut dilengkapi dengan ubi dan keladi (talas), yang juga digoreng sampai gosong. Biasanya untuk memperoleh campuran yang baik, terlebih dahulu minyak kelapa dipanaskan, kemudian barulah dicampur dengan perlengkapan lainnya. Secara keseluruhan "lenga-wangi" dan "burat-wangi" melambangkan Hyang Sambhu. Menyan melambangkan Hyang Siva, Majegau melambangkan Hyang Sadasiva sedang cendana melambangkan Hyang Paramasiva.
Banten ini dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti pada hari Purnama, Tilem, hari raya Saraswati dan melengkapi sesajen-sesajen yang lebih besar.

v  Canang Sari
Bentuk banten ini agak berbeda dengan banten/canang genten sebelumnya, yaitu dibagi menjadi dua bagian. Bagian bawahnya bisa berbentuk bulat ataupun segiempat seperti ceper atau taledan. Sering pula diberi hiasan "Trikona/plekir" pada pinggirnya. Pada bagian ini terdapat pelawa, porosan, tebu, kekiping (sejenis jajan dari tepung beras), pisang emas atau yang sejenis dan beras kuning yang dialasi dengan tangkih. Dapat pula ditambah dengan burat wangi dan lengawangi seperti pada canang buratwangi. Di atasnya barulah diisi bermacam-macam bunga diatur seindah mungkin dialasi dengan sebuah "uras sari/sampian uras".
Canang sari dilengkapi dengan sesari berupa uang kertas, uang logam maupun uang kepeng. Perlengkapan seperti tebu, kekiping, dan pisang emas disebut "raka-raka". Raka-raka melambangkan Hyang Widyadhara-Widyadhari. Pisang emas melambangkan Mahadewa, secara umum semua pisang melambangkan Hyang Kumara, sedangkan tebu melambangkan Dewa Brahma.
Canang sari dipergunakan untuk melengkapi persembahan lainnya atau dipergunakan pada hari-hari tertentu seperti: Kliwon, Purnama, Tilem atau persembahyangan di tempat suci.

v  Canang Pesucian
Canang ini disebut juga canang pengeraos yang terdiri atas dua buah aled atau ceper. Pada bagian bawah berisi kapur, pinang, gambir, tembakau yang dialasi dengan kojong. disusuni beberapa lembar daun sirih, sedangkan aled atau ceper yang lain berisi bija serta minyak wangi yang dialasi celemik atau kapu-kapu kemudian dilengkapi bunga yang harum.

v  Tadah Pawitrah / Tadah Sukla
Bentuknya seperti canang genten ditambahkan dengan pisang kayu yang mentah, kacang komak, kacang putih, ubi dan keladi. Semua perlengkapan digoreng dan masing-masing dialasi tangkih dan kojong. Banten ini dipergunakan untuk melengkapi beberapa jenis sesajen seperti: daksina Pelinggih dan lain-lainnya.

v  Canang Meraka
Sebagai alas dari canang ini digunakan ceper atau tamas, diatasnya diisi tebu, pisang, buah-buahan, beberapa jenis jajan dan sebuah "sampian" disebut "Srikakili" dibuat dari janur berbentuk kojong diisi plawa, porosan serta bunga. Sesungguhnya masih banyak jenis-jenis canang tubungan, Canang Gantal, Canang Yasa. Canang pengraos dan lain-lain.
Pada umumnya bahan yang diperlukan hampir sama, hanya bentuk porosan dan cara pengaturannya yang berbeda. Rupanya pemakaian sirih, kapur dan pinang mempunyai dua fungsi sebagai simbul atau lambang yaitu:
- Sirih melambangkan Dewa Wisnu
- Pinang melambangkan Dewa Brahma
- Kapur melambangkan Dewa Siwa
Untuk persembahan biasa berfungsi sebagai makanan, dalam hal ini penggunaannya dilengkapi dengan tembakau dan gambir.

2.4 Pengertian Yadnya
Kalau ditinjau secara dari ethimologinya, kata yadnya berasal dari bahasa sansekerta, yaitu dari kata "yaj" yang artinya memuja atau memberi penghormatan atau menjadikan suci. Kata itu juga diartikan mempersembahkan; bertindak sebagai perantara. Dari urat kata ini timbul kata yaja (kata-kata dalam pemujaan), yajata (layak memperoleh penghormatan), yajus (sakral, retus, agama) dan yajna (pemujaan, doa persembahan) yang kesemuanya ini memiliki arti sama dengan Brahma.
Yadnya (yajna), dapat juga diartikan korban suci, yaitu korban yang didasarkan atas pengabdian dan cinta kasih. Pelaksanaan yadnya bagi umat Hindu adalah satu contoh perbuatan Hyang Widhi yang telah menciptalan alam semesta dengan segala isinya dengan yadnya-Nya. Yadnya adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus iklas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Dengan demikian jelaslah bahwa yadnya mempunyai arti sebagai suatu perbuatan suci yang didasarkan atas cinta kasih, pengabdian yang tulus iklas dengan tanpa pamerih. Kita beryadnya, karena kita sadar bahwa Hyang Widhi menciptakan alam ini dengan segala isinya termasuk manusia dengan yadnyanya pula. Penciptaan Hyang Widhi ini didasarkan atas korban suci-Nya, cinta dan kasih-Nya sehingga alam semesta dengan segala isinya ini termasuk manusia dan mahluk-mahluk hidup lainnya menjadi ada, dapat hidup dan berkembang dengan baik. Hyang Widhilah yang mengatur peredaran alam semesta berserta segala isinya dengan hukum kodrat-Nya, serta perilaku kehidupan mahluk dengan menciptakan zat-zat hidup yang berguna bagi mahluk hidup tersebut sehingga teratur dan harmonis.
Jadi untuk dapat hidup yang harmonis dan berkembang dengan baik, maka manusia hendaknya melaksanakan yadnya, baik kepada Hyang Widhi beserta semua manifestasi-Nya, maupun kepada sesama makhluk hidup. Semua yadnya yang dilakukan ini akan membawa manfaat yang amat besar bagi kelangsungan hidup makhluk di dunia.
 Agnim ile purohitam
 yajnasya devam rtvijam, 
hotaram ratna dhatanam (R.V.I.1.1)
Artinya:
Hamba menuja Agni, pendeta agung upacara yadnya, yang suci, penganugrah, yang menyampaikan persembahan (kepada para Dewa), dan pemilik kekayaan yang melimpah.
Ishtân bhogaân hi vo devâ
dâsyante yahjna bhâvitâh
tair dattân apradâyai byo
yo bhunkte stena eva sah. (Bh. G.III.12)
            Artinya:
Sebab dengan yadnyamu (pujaanmu) Hyang Widhi (dewata) akan memberkahi kebahagiaan bagimy, dia yang tidak membalas rakhmat ini kepada-Nya, sesungguhnya adalah pencuri.
Yâjna sishtâsinah santo
muchyante sarva kilbishaih
bhunjate te ty agham pâpâ
ye paehamty atma karanat. (Bh. G.III.13)
Artinya:
Yang baik makan setelah upacara bakti akan terlepas dari segala dosa, tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi diri sendiri, mereka ini, sesungguhnya makan dosa.
Sesorang hendaknya menyadari , bahwa sesuatu yang dimakan, dipakai maupun yang digunakan dalam hidup ini pada hakikatnya adalah karunia Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Kuasa). Berdosalah ia yang hanya suka menerima namun tidak mau memberi. Setiap orang ingin terlepas dari segala dosa, maka itu setiap orang patut beryadnya. Dengan yadnya, Hyang Widhi akan memberkahi kebahagiaan dan kesempurnaan hidup. Dia yang tidak beryadnya, yang tidak membalas rahmat yang ia terima sebagaimana yadnya dan anugrah yang diberikan oleh Hyang Widhi, sesungguhnya ia itu adalah pencuri.
Jadi dengan memperhatikan beberapa sloka di atas, maka jelaslah bahwa yadnya adalah suatu amal ibadah agama yang hukumnya adalah wajib atau setidak-tidaknya dianjurkan untuk dilaksanakan oleh umat manusia yang iman terhadap Hyang Widhi. Seseorang hendaknya mengabdikan diri kepada-Nya dengan penuh kesujudan dan rasa bakti dengan mengadakan pemujaan dan persembahan yang dilakukan secara tulus iklas. 
Patram pushpam phalam toyam
yo me bhaktya prayachchati
tad aham bhaaktypahritam
asnami prayatatmanah. (Bh. G.IX.26)
Artinya:
Siapa yang sujud kepada-Ku dengan persembahan setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air, Aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Biasanya pemujaan dan persembahan itu dapat dilakukan dalam bentuk upacara yadnya, yaitu persembahan berupa banten atau sajen-sajen, yang terdiri dari bahan-bahan seperti bunga, daun-daun, air dan buah-buahan. Semuanya ini adalah persembahan yang bersifat simbolik. Yang terutama adalah hati suci, pikiran terpusatkan dan jiwa dalam keseimbangan tertuju kepada Hyang Widhi.
Ye yatha mam prapadyante
tams tathai va bhajamy aham
mama vartma nurvartante
manushyah partha sarvatah (Bh. G. IV.11)
Artinya:
Jalan manapun ditempuh manusia ke arah-Ku semuanya Ku terima dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh Parta.
Hyang Widhi akan menemui setiap orang yang mengharapkan karunia daripada-Nya. Hyang Widhi tidak menghapus harapan setiap orang yang melaksanakan yadnya menurut cara dan kepercayaannya masing-masing. Disini tidak harus satu cara atau jalan tertentu untuk mencapai hubungan dengan Hyang Widhi, sebab semuanya menuju kepada-Nya.
Didalam pelaksanaan upacara yadnya, hal-hal yang patut diperhatikan adalah Desa, kala, Patra. Desa adalah menyesuaikan diri dengan bahan-bahan yang tersedia ditempat yang bersangkutan, di tempat mana upakara yadnya itu dibuat dan dilaksanakan, karena biasanya antara tempat yang satu dengan tempat yang yang lainnya mempunyai cara-cara yang berbeda. Kala adalah penyesuaian terhadap waktu untuk beryadnya, atau kesempatan di dalam pembuatan dan pelasksanaan yadnya tersebut. Sedangkan Patra adalah keadaan yang harus menjadi perhitungan di dalam melakukan yadnya. Orang tidak dapat dipaksa untuk membuat yadnya besar atau yang kecil. Yang penting disini adalah upakara dan upacara yang dibuat tidak mengurangi tujuan yadnya itu dan berdasarkan atas bakti kepada Hyang Widhi, karena di dalam bakti inilah letak nilai-nilai dari pada yadnya tersebut. Adapun bentuk dari Yandna yang dikenal dengan nama Panca Maha Yajna, disebut dalam Manu Smrti III.68-69 :

  1. Dewa Yajna
Dewa asal kata bahasa Sanskrit “Div” yang artinya sinar suci, jadi pengertian Dewa adalah sinar suci yang merupakan manifestasi dari Tuhan yang umat Hindu di Bali menyebutnya Ida Sanghyang Widhi. Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Dewa Yadnya adalah pemujaan serta persembahan kehadapan Tuhan dan sinar-sinar suciNYA yang disebut dewa-dewi.
Adanya pemujaan atau persembahan kehadapan dewa-dewi atau para dewa karena beliau yang dianggap mempengaruhi dan mengatur gerak kehidupan di dunia ini. Salah satu dari Upacara Dewa Yadnya seperti Upacara Hari Raya Saraswati yaitu upacara suci yang dilaksanakan oleh Umat Hindu untuk memperingati turunnya Ilmu Pengetahuan yang dilaksanakan setiap 210 hari yaitu pada hari Sabtu, yang dalam kalender Bali disebut Saniscara Umanis uku Watugunung, pemujaan ditujukan kehadapan Tuhan sebagai sumber Ilmu Pengathuan dan dipersonifikasikan sebagai Wanita Cantik bertangan empat memegang wina (sejenis tasbih), genitri (semacam alat musik) serta lontar bertuliskan sastra ilmu pengetahuan di dalam kotak kecil.

  1. Brahma Yajna atau Rsi Yajna
Rsi artinya orang suci sebagai rohaniawan bagi masyarakat Umat Hindu di Bali. Yadnya artinya upacara suci.
Upacara Resi Yadnya adalah upacara suci sebagai penghormatan serta pemujaan kepada para Resi yang telah memberi tuntunan hidup untuk menuju kebahagiaan lahir-bathin di dunia dan akhirat.

  1. Pitra Yajna
Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal. Yadnya artinya upacara suci. Upacara Pitra Yadnya adalah upacara suci yang dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan meralina ( kremasi) serta penghormatan terhadap orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu.
Yang dimaksud dengan meralina (kremasi menurut Ajaran Agama Hindu ) adalah merubah suatu wujud demikian rupa sehingga unsur-unsurnya kembali kepada asal semula. Yang dimak dengan asal semula adalah asal manusia dari unsur pokok alam yang terdiri dari air, api, tanah, angin dan angkasa. Sebagai sarana penyucian digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk meralina digunakan api pemeralina ( api alat kremasi).

  1. bhuta yajna
Bhuta artinya unsur yang diadakan, sedangkan Yadnya artinya upacara suci. Kata “Bhuta” sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya “waktu” atau “energi” Bhuta Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya.
Bhuta Yadnya adalah pemujaan serta persembahan yang ditujukan kehadapan Bhuta Kala yang tujuannya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya. Salah satu dari upacara Bhuta Yadnya adalah Upacara Tawur ke Sanga (IX) menjelang Hari Raya Nyepi (tahun baru kalender Bali).
Upacara Tawur ke Sanga (IX) adalah upacara suci yang merupakan persembahan kepada Bhuta-Kala agar terjalin hubungan yang harmonis dan bisa memberikan kekuatan kepada manusia dalam kehidupan.

  1. Nri yajna atau manusa yajna.
Manusa artinya manusia, sedangkan yadnya artinya upacara suci. Upacara Manusa Yadnya adalah upacara suci dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir kehidupan.
Maksud dari Upacara manusa yadnya ialah untuk membersihkan lahir-batin seseorang demi kesempurnaan dan keselamatan hidupnya. Adapun jenis upacara dari manusa yadnya adalah: Magedong-gedongan. Rare embas ( bayi lahir), Kepus Pungsed (Tali pusar lepas), Roras raina (Bayi umur 12 hari), Abulan Pitung Raina (Bayi umur 42 hari), Telu Bulan (Bayi umur 3 bulan), Otonan (Bayi umur 6 bulan), magetep bok, (bayi potong rambut), Ngendagin atau ngempugin (bayi tumbuh gigi), Upacara ganti gigi, Upacara raja sewala, (akil balig), Upacara mapandes (potong gigi), dan Upacara Pawiwahan. 

2.4  Makna Canang dalam suatu Upacara
Makna canang dalam suatu upacara adalah sebagai berikut:

a. Canang mengandung arti dan makna perjuangan hidup manusia dan selalu memohon bantuan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa untuk dapt menciptakan, memelihara dan meniadakan yang patut diciptakan, dipelihara dan ditiadakan demi suksesnya cita-cita hidup manusia yaitu kebahagiaan.

b. Perjuangan hidup itu selalu melalui usaha untuk menumbuhkan pikiran yang jernih dan suci didasarkan pada ketulusikhlasan, beryadnya, berbakti dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada sesama manusia dan kepada alam lingkungan. Dalam begavadgita, III, 10 disebutkan Prajapati yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Praja atau manusia dan mahluk hidup lainnya, Kamadhuk artinya “yang memberikan segala keinginan”, yaitu alam atau bumi tempat kita hidup. Usaha untuk menumbuhkan pikiran yang suci dan ening dan ketulus ikhlasan untuk berbakti dan yang mengabdi harus disertai dengan ketetapan hati inilah yang dapat menyingkirkan semua godaan-godaan hidup.

c. Usaha-usaha manusia untuk menciptakan, memelihara, dan meniadakan sesuatu yang patut diciptakan, dipelihara dan ditiadakan, melalui penumbuhan pikiran yang jernih dan suci berdasarkan hati yang tulus ikhlas dengan ketetapan hati yang lannggeng dunia ini dibangun menjadi seimbang, selaras, dan serasi. Inilah sumber kehidupan yang bahagia demikian tingginya filsafat hidup yang dikandung oleh canang.















BAB III
PENUTUP


3.1 KESIMPULAN

Dalam persembahyangan canang inilah merupakan sarana yang penting, karena canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Tuhan atau Bhatara Bhatari lelehur. Sehingga Canang adalah visualisasi daripada ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang indah. Atau dengan kata lain Canang itu adalah bahasa Agama Hindu dalam bentuk simbul yang dapat memberi berbagai keterangan tentang arti dan makna hidup.adapun unsur-unusur dari canag itu adalah  Porosan, Plawa, Bunga, Jejahitan, reringgitan, tetusan, dan Urassari. Canag dari segi penggunaan dan bentuk serta perlengkapanya ada beberapa macam seperti: Canang Genten, Canang Buratwangi, Canang Sari, Canang Pasucian, Tadah Pawitrah/ tadah sukla, dan Canag meraka.
Yadnya menurut ajaran agama Hindu, merupakan satu bentuk kewajiban yang harus dilakukan oleh umat manusia di dalam kehidupannya sehari-hari. Sebab Tuhan menciptakan manusia beserta makhluk hidup lainnya berdasarkan atas yadnya, maka hendaklah manusia memelihara dan mengembangkan dirinya, juga atas dasar yadnya sebagai jalan untuk memperbaiki dan mengabdikan diri kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).
Jadi yadnya itu adalah cara yang dilakukan untuk menghubungkan diri antara manusia dengan Hyang Widhi beserta semua manifestasinya untuk memperoleh kesucian jiwa dan persatuan Atman dengan Paramatman. Yadnya juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan cinta kasih yang keluar dari hati sanubari yang suci dan tulus iklas sebagai pengabdian yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Adapun bagian dari yadnya ini adalah Dewa Yajna, Brahma Yajna atau Rsi Yajna, Pitra Yajna, bhuta yajna,Nri yajna atau manusa yajna dan kelimanya ini dikenal dengan nama Panca Maha Yajna, disebut dalam Manu Smrti III.68-69 :

3.2 SARAN
            Dengan tersusunnya karya tulis ini diharapkan kepada masyarakat dan khususnya mahasiswa untuk mempelajari dan memahami makna canang dalam suatu upacara yadnya. Karean canang inilah yang merupakan inti dari semua Banten. Sehingga di masyarakat canang itu tidak sekedar hanya dibuat tetapi tidak tau maknanya.


























DAFTAR PUSTAKA

  1. Tjokorda Rai Sudharta, Prof. DR.dkk, Arti dan Fungsi sarana Upakara, Parisada Hindu Pusat.

  1. Subagiasta I Ketut Drs. Dkk, Modul Acara Agama Hindu, departemen Agama dan Universitas Terbuka, jakarta, 1993.

  1.  Jelantik Oka, Ida Pendanda Gede Nyoman, Sanatanan Hindu darma, Widya dharma, Denpasar, 2009







 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar