BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Canang merupakan sarana yang terpenting,
karena canang ini merupkan upakara yang akan dipakai dalam melakukan suatu
upacara. Kata canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti
sirih, untuk digunakan kepada tamu yang amat dihormati. Pada zaman dahulu
tradisi makan sirih adalah tradisi yang sangat dihormati, maka dari pada itulah
sirih itupun menjadi unsur terpenting dalam dalam upacara agama dan kegiatan-kegiatan
agama lainnya.
Canang adalah inti dari semua banten yang
ada di bali baik tingat nista, madya, dan utama pasti menggunakan canang,
karena dalam canang itu terdapat unsur-unsur pokok yang membentuk canang itu
menjadi sakral yaitu: porosan, plawa (daun-daunan), Bunga, jejahitan dan
tuasan. Unsur-unsur ini merupakan pelambangan dari Sang Hyang Tri Murti.
Betapapun mewahnya banten kalau belum dilengkapi dengan canang yang terdiri
dari unsur-unsur di atas maka banten tersebut belum bernilai keagamaan.
Sehingga canang tidak bisa dilepaskan dari upacara –upacara yadnya.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas dapat
ditarik beberapa rumuasan masalah yatu:
1. Apa yang dimaksud canang dalam suatu
upacara yadnya?
2. Unsur pokok apa saja yang terdapat dalam
canang ?
3. Apa saja bentuk-bentuk canang ?
4. Apakah itu yadnya?
5. Apa makna canang dalam suatu upacara
yadnya?
1.3
Tujuan
Penulisan
1. Agar kita bisa mengetahui makna canang
dalam suatu upacara yadnya
2. Untuk bisa mengetahui unsur-unsur apa saja
yang terdapat dalam canang
3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk canang
4. Untuk mengetahui makna canang dalam suatu
upacara yadnya,
5. Untuk mengetahui Pengertian Yadnya, serta
6. Untuk memenuhi tugas akhir semsester mata
kuliah acara hindu 2
1.4
Manfaat Tulisan
Manfaat pembuatan
makalah ini yaitu supaya kita megetahui pengertian canang. Mengetahui
unsur-unsur dan mengetahui bentuk-bentuk canag. Serta Untuk mengetahui makna canag dalam suatu
upacara yadnya.
1.5
Ruang Lingkup
Ruang
lingkup terkait dengan mata kuliah acara hindu. Canang merupakan sarana penting
dalam suatu Upacara yadnya. Pemaknaan tentang canang sangat penting diajarkan
dan di pelajari oleh masyarakat Bali. Karena
banyak pada masa sekarang ini orang yang tidak mengetahui makna yang terkandung
dalam canang dan orang-orang hanya menganggap canang itu sebagai penghias
suatau banten.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian canang dalam uapcara yadnya
Dalam persembahyangan canang inilah
merupakan sarana yang penting, karena canang ini merupakan upakara yang akan
dipakai sarana persembahan kepada Tuhan atau Bhatara Bhatari lelehur. Kata
canang berasal dari Bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti sirih, untuk
digunakan kepada tamu yang dihormati. Pada zaman dahulu tradisi makan sirih
adalah tradisi yang sangat dihormati. Bahkan didalam kekawin Nitisastra disebutkan:
”Masepi tikang waktra tan amucang wang” artinya : sepi rasanya mulut bitu tiada
makan sirih. Jadi sirih pada zaman dahulu, ternyata benda yang benar-benar
bernilai tinggi. Sekarangpun di beberapa daerah termasuk di daerah bali, sirih
itu masih merupakan daun yang digemari oleh oleh masyarakat terutama oleh orang
tua.
Tradisi zaman dahulu, sirih itu adalah
lambang penghormatan. Setelah Agama Hindu berkembang di Bali, sirih itupun
menjadi unsur penting dalam upacara agama dan dalam kegiatan-kegiatan agama
lainnya. Mengapa salah satu bentuk banten di bali disebut dengan canang? Karena
inti daripada setiap banten canang adalah sirih itu sendiri. Betapapun indahnya
canang kalau belum dilengkapi denagn porosan yang bahan pokoknya adalah sirih,
belumlah canag itu disebut canang yang bernilai keagamaan.
Adapun perlengkapan daripada canang itu
anatara lain sebagai alasnya dipakai Ceper, atau daun pisang yang berbentuk
segi empat. Di atasnya berturut-turut di susun perlengkapan yang lain seperti:
pelawa (daun-daunan). Porosan yang terdiri dari salah satu atau dua potong
sirih, di alamnya diisi kapur dan pinang, lalu dijepit dengan sepotong janur di
atasnya diisi dengan tangkih atau kojong dari janur yang bentuknya bundar
disebut ulusari dapat pual di tambahkan dengan pandan harum yang diisi dengan
wangi-wangian.
Jadi canang adalah visualisasi daripada
ajaran agama Hindu dalam bentuk banten yang indah. Atau dengan kata lain Canang
itu adalah bahasa Agama Hindu dalam bentuk simbul yang dapat memberi berbagai
keterangan tentang arti dan makna hidup.
2.2
Unsur-unsur dalam Canang
Unsur-unsur pokok daripada canang –cangang
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Porosan
Porosan terdiri dari: pinang, kapur dan sirih. Dalam lontar Yadnya Prakerti
disebutkan: pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang
Maha Esa, dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang Lambang
pemujaan kepada Dewa Brahma, Sirih lambang pemujaan kepada Dewa Wisnu, kapur
lambang pemujaan Dewa Siwa. Karena tiga manifestasi inilah yang amat terkait
dengan kehidupan umat manusia, sehari-hari maka daripada itulah Tuhan dipuja
dalam tiga mainfestasi oleh umat hindu. Manusia tidak mungkin menjangkau
kemahakuasaan Tuhan yang tiada batas itu. Manusia dalam kehidupanya
sehari-hari, menuju kepada peningkatan hidup yang semakin layak dan semakin
baik, karena membutuhkan tiga hal pokok. Tiga hal pokok tersebut adalah:
Pertama:
tercipta dan tumbuhnya segala sesuatu, baik fisik, material maupun mental spiritual.
Untuk menunjang tujuan hidupnya mencapai hidup yang semakin layak.
Kedua: segala sesuatu yang telah tercapai itu, dapat
terpelihara dengan baik juga untuk menunjang cita-cita hidup tadi.
Ketiga: manusaipun menuju cita-citanya mengharapkan
dapat mengatasi dan kalau mungkin meniadakan sesuatu yang
menghambat/menghalangi hidupnya.
Ketiga dari proses kehidupan itulah yang
menyebabkan manusia memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam tiga fungsinya. Umat Hindu
memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma yaitu fungsi Tuhan sebagai pencipta dengan maksud
memohon perlindungan dan karunianya. Agar manusia dalam usaha menciptakan dan
menumbuhkan segala sesuatunya untuk menuju cita-citanya selalu sukses dan
mendapatkan keyakinan diri.
Menciptakan dan menumbuhkan sesuatu yang
patut diciptakan dan ditumbuhkan bukanlah pekerjaan yang mudah. Demikian pula
Umat Hindu memuja Tuahan dalam manifestasinya sebagai Dewa Wisnu yang berfungsi
sebagai dewa pelindung dan pemelihara. Agar manusia selalu mendapat tun-tunan
dan kekuatan iman untuk dapat memelihara segala sesuatu yang patut dipelihara
didunia ini.
Tuhan dipuja sebagai Dewa Siwa, juga
dimaksudkan agar manusia dalam usahanya melenyapkan atau menghilangkan segala
sesuatu yang menghambat cita-cita sucinya untuk menuju hidup yang bahagia
lahir, bathin selalu mendapat kekuatan dan perlindungan dari Tuhan Yang Maha
Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa.
Inilah arti dan makna porosan untuk memohon
tuntunan dan kekuatan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai
Dewa Tri Murti, agar dapat menciptakan, memelihara, dan meniadakan yang patut
diciptakan, dipelihara dan ditiadakan untuk mendapatkan hidup yang layak dan
semakin baik.
b. Plawa ( daun-daunan)
Telah disebutkan dalam Lontar Yadnya
Prakerti bahwa Plawa adalah lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci.
Jadi dalam memuja Tuhan sesuai dengan
sesuai dengan manifestasinya sebagai Tri Muri, harus dengan usaha
menumbuhkan pikiran yang suci hening. Karena pikiran yang tumbuh dari kesucian
dan keheningan itulah yang akan dapat menanggal pengaruh-pengaruh buruk dari
nafsu dunaiwi. Pikiran yang suci dan hening inilah yang dapat menarik atau
menurunkan karunia Tuhan.
Jenis daun atau plawa yang digunakan
sebagai sarana yadnya bukan diperoleh secara sembarangan, tetapi diperoleh
secara khusus yang telah ditanam pada suatu tempat yang suci pula, seperti:
tanaman bunga yang ada di halaman suatu pura, halaman pemerajan, serta
disekitar tempat-tempat tertentu yang dipandang suci atau yang tidak mencemarkan
jenis tumbuhan yang nantinya digunakan sebagai sarana upacara yadnya.
Persembahan daun atau plawa yang
diutamakan adalah nilai kesuciannya atau ketulusiklasan dalam
mempersembahkannya. Atau dengan kata lain kecil dalam persembahan namun besar
dalam makna. Persembahan yang demikian disebut dengan ”nistaning uttama atau
siddhaning don”
Adapun jenis-jenis plawa atau daun yang
digunakan dalam yadnya baik yadnya yang bersifat nitya karma maupun yang
bersifat naimitika karma adalah daun beringin, daun bilwa, daun prancak, daun
dadap, daun rumput (padang lepas, alang-alang), daun pandan arum, daun pudak, daun
pohon puring, daun enau, daun kelapa muda atau janur, daun nanas, daun andong,
daun salak, daun pisang. dll
c. Bunga lambang keikhlasan
Menuju
Tuhan Tak boleh ragu-ragu, harus didasarkan pada keikhlasan yang benar-benar
tulus datang dari lubuk hati yang paling dalam dan tersuci. Di samping itu
keikhlasan merupakan kebutuahan dari pertumbuhan jiwa yang sehat. Dalam hidup
ini kita harus mampu mengikhlaskan diri dari kehidupan duniawi. Apapun yang
mengikat diri kita didunia ini harus kita ikhlaskan, sebab cepat ataupun lambat
dunia ini pun kita akan tinggalkan. Karena tidak ada yang kekal dalam dunia
ini.
Betapapun indahnya masa kanak-kanak, harus
kita ikhlaskan menuju masa remaja, demikian pula betapapun indahnya masa remaja
harus kiat ikhlaskan menuju masa dewasa dan demikian seterusnya. Kitapun harus
iklas melepaskan ketampanan, kecantikan, kekayaan, jabatan, dan akhirnya dunia
yang indah inipun harus diiklaskan. Demikian pula dengan orang-orang yang kiat
cinta, cepat atau lambat harus diikhlaskan untuk berpisah kalau sudah waktunya.
Keikhlasan ini amat penting dalam menjaga keseimbangan jiwa, keikhlasan bukan
berarti orang harus menyerah dengan segala keadaan, keikhlasan disini berarti
menerima dengan lapang dada segala kenyataan sebagai hasil usaha kiat dalam
hidup ini. Manusia harus berusaha tetapi akhirnya Tuhanlah yang menentukan.
Keikhlasan ini harus selalu kita tanamkan dalam jiwa, karena semua ciptaan
Tuhan ada awal, ada puncak dan ada akhir.
Manusia yang tidak memiliki keikhlasan
hidup akan selalu resah, orang yang resah tidak pernah memiliki perasaan
tenang, apalagi suci atau hening. Pikiran yang keruh tidak akan mampu
berhubungan dengan kekuatan-kekuatan Tuhan Yang Maha Esa. Bahkan pikiran yang
keruh justru bisa dimasuki oleh kekuatan iblis, setan yang mendorong manusia
berbuat jahat.
Selain bunga sebagai lambang keikhlasan,
bunga juga berfungsi sebagai simbul Tuhan (Siwa) dan berfungsi sebagai
persembahan. Sebagai simbul, Bunga diletakakan tersebul pada puncak cakupan
kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga
tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumbangkan ditelinga. Sedangkan
bunga seabagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara
atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Tuhan ataupun roh suci leluhur.
Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti
disebutkan sebagai:....”sekare pinako katulusan pikayunan suci”. Artinya Bunga
itu sebagai lambang ketulu ikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur
salah satu persembahyangan yang digunakan oleh Umat Hindu bukan dilakukan tanpa
dasar kitab suci.
d.
Jejahitan, reringgitan dan tetusan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan
pikiran.
Dalam menuju cita-cita hidup, apalagi dalam zaman modern ini banyak sekali
Unsure-unsur
yang dapat menggoyahkan pikiran kita. Untuk tetap dapat menuju kebenaran dan
kebaikan (dharma) ketetapan dan kelanggengan ini harus diperthankan. Godaan
demi godaan akan silih berganti, datng menggoyahkan cita-cita suci, karena itu
tetaplah maju menuju jalan suci yaitu jalan menuju kebenaran Tuhan. Karena itu
pikiran yang langgeng amat dibutuhkan. Tanpa ketetapan yang patut
dicita-citakan, dipelihara dan ditiadakan hidup manusia akan porakporanda.
Berketetapan hati, berpegang pada
prinsip hidup yang benar amat dibutuhkan dalam mewujudkan kehidupan yang
bahagia. Apalgi dalm memohon dan menjaga Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ujian hidup
pasti selalu ada. Hanya ketetapan hati atau kelanggenganlah sumber pokok agar
dapt akses dari berbagai ujian hidup.
e.Urassari
Letak urassari dalam canang adalah
di atas plawa, porosan, tebu keeping, pisang dan lain-lainnya,yang dihiasi
dengan ceper. Di atas Urassari ini diisi
bunga-bungaan. Adapun bentuk daripada urassari tersebut kalau kita amati,berbentuk
garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana daripada
swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.
Urassari yang tersusun dengan
jejahitan, reringgitan dan tetusan itu akan kelihatan berbentuk lingkaran
“Padma Astadala”. Padma Astadala adalah lambang stana Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dengan delapan penjuru anginnya.
Dalam ajaran agama hindu, alam semesta ini, diciptakan melalui tiga proses
yaitu:
e.1. Sresti artinya: proses penciptaan dari unsure
purusa pradana terus sampai terciptanya alam semesta beserta isinya termasuk
manusia.
e.2. Sawstika artinya: proses dimana alam mencapai
puncak keseimbangannya yang bersifat dinamis.Hal inilah yang dilambngkan dalam
sampian Urassari dasar pokonya berbentuk penyilang atau tampak dara, dimana
ujung-ujungnya menunjukan arah “catur lokapal” disertai dengan hiasan yang
melingkar menjadi Swastika, Kemudian menjadi bentuk Padma Astadala.
Bentuk
tampak dara yang menunjukan arah catur loka pala, berkembang menjadi bentuk Swastika
dan dengan hiasan yang menyilang ke sudut-kesudutnya menjadikan bentuk bentuk
Padma Astadala, adalah lambang perputaran alam yang seimbang. Perputaran alam
yang seimbang. Perputaran alam yang seimbang merupakan sumber hidup yang menuju
kebahagiaan.
Jadi
sampian ulusari adalah lambang Padma Asta dala, sebagai lambangng permohonan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, semoga alam lingkunagn hidup selaras dan seimbang.
e.3 Pralaya artinya : alam semesta ini lebur kembali pada asalnya yaitun
Tuhan Pencipta, Sreti, Swastika dan Pralaya adalah proses alam yang melalui
proses penciptaan, masa keseimbangan atau swastika dan masa peleburan kembali
atau pralaya kepada sumbernya.